Travelklik - Kudus, Suasana tajug kompleks Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus, pagi itu terasa berbeda dari hari-hari biasanya. Terlihat kepulan asap kemenyan yang sengaja dibakar, bau harum menebar keseluruh ruangan sehingga membuat bangunan berbentuk pendapa kecil tersebut terasa sangat sakral.
Selang berapa saat, sejumlah rombongan kyai, sesepuh serta para pengurus Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus yang sedari pagi melakukan ziarah ke makam Sunan Kudus masuk ke pendopo Tajug.
Dengan membaca shalawat, salah satu sesepuh kemudian mengambil sebuah kotak yang tersimpan di atap tajug.
Ya, kotak yang terkunci dalam ruang penyimpanan di atap tajug tersebut, berisi keris Kiai Chintaka. Keris berlekuk sembilan tersebut merupakan keris peninggalan Kanjeng Sunan Kudus yang tentu sudah berusia ratusan tahun setara dengan usia Menara Kudus.
Keris ini diperkirakan berasal dari zaman Majapahit akhir, sedangkan bentuk atau tipe bilah kerisnya merupakan "Dapur Panimbal" yang memiliki makna kebijaksanaan dan kekuasaan.
Sebilah keris peninggalan Sunan Kudus (Syeh Ja'far Shodiq) tersebut akan dijamas dengan tata cara ritual yang dilakukan secara turun temurun.
”Konon Sunan Kudus memberi nama pusaka itu Cinthaka atau Cipthaka karena penyebaran Islam di Jawa berdasarkan cinta dan menciptakan kecintaan,” kata Ketua Yayasan Masjid Menara Makam Sunan Kudus (YM3SK) Em Nadjib Hassan.
Jamasan pusaka itu didahului dengan pengambilan Cintaka yang tersimpan di dalam kotak anyaman bambu di atas joglo Pendopo Tajug.
Pengambilan pusaka di Pendopo Tajug itu diiringi dengan lantunan shalawat. Setelah dipisahkan dari warangka (wadah), keris dibersihkan dengan jeruk nipis, air kelapa muda, dan dikeringkan atau dihangatkan dengan ribuan butir gabah. Keris kemudian diberi wangi-wangian tanpa alkohol, dimasukkan ke warangka, dan disimpan kembali di atap joglo.
”Kami berharap peristiwa jamasan atau perawatan pusaka Sunan Kudus menjadi pelajaran hidup masyarakat untuk tetap merawat iman kepada Allah dan ajaran-ajaran Sunan Kudus tentang cinta kepada semua orang tanpa sekat,” kata Nadjib.
prosesi jamasan dilakukan oleh seorang sesepuh bernama H Fakihuddin. Fakihuddin dalam beberapa tahun terakhir ini bertugas sebagai penjamas menggantikan peran KH Ahmad Bashir, ulama besar Kudus yang telah wafat beberapa tahun lalu.
Nadjib Hasan, dalam ritual jamasan yang terpenting adalah bentuk pelestarian peninggalan Sunan Kudus. ”Ini merupakan bentuk pelestarian tradisi. Sebagai bentuk peninggalan, tentu wajib dijaga dan dilestarikan,” katanya.
Diakui Nadjib, jamasan pusaka peninggalan Sunan Kudus sudah dilakukan sejak lama bahkan beratus-ratus tahun, selalu dilakukan pada hari Senin atau Kamis pertama usai hari Tasyrik (tiga hari setelah hari raya Idul Adha).
Selain kiai Cinthaka ada pusaka lainnya yang juga dijamas yakni dua mata tombak trisula yang berada di mihrab masjid Menara. Disinggung mengenai keampuhan keris tersebut, Najib menyampaikan konon, keris tersebut dapat memadamkan api. Seperti dikisahkan keris tersebut pernah dipinjam untuk memadamkan kebakaran yang terjadi di keraton Solo. ”Dulu, keraton Solo selalu mengirimkan semacam parfum yang disebut ‘kophok gajah’ sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada Sunan Kudus setiap tahunnya,” ujar Nadjib.
Sebenarnya atas saran dari beberapa ahli pusaka, keris dan tombak Sunan Kudus diminta untuk tidak dijamas setiap tahun lantaran pertimbangan kondisi yang sudah mulai aus. Namun, karena sudah tradisi, pihaknya tetap melakukan penjamasan.
Rangkaian jamasan itu sendiri ditutup dengan bancakan (suguhan) aneka jajanan pasar. Jajanan itu merupakan simbol kesederhanaan hidup sekaligus sikap hidup peduli dengan wong cilik atau rakyat kecil.
”Kami berharap peristiwa jamasan atau perawatan pusaka Sunan Kudus menjadi pelajaran hidup masyarakat untuk tetap merawat iman kepada Allah dan ajaran-ajaran Sunan Kudus tentang cinta kepada semua orang tanpa sekat,” kata Nadjib.
Sementara itu pendopo Tajug yang menjadi tempat penyimpanan pusaka peninggalan Sunan Kudus mempunyai arti penting dalam sejarah perkembangan Islam di Kudus.
Tajug merupakan nama desa yang masuk dalam wilayah Kerajaan Demak sebelum diganti Sunan Kudus menjadi Kudus (Al Quds). Di Desa Tajug ini, dahulunya banyak terdapat candi. Candi-candi itu tidak dihancurkan Sunan Kudus, tetapi dialihkan kegunaannya. Hal ini bukti tolerannya Sunan Kudus dalam proses penyebaran Agama Islam. (Kontributor: Sutini)